Tadabbur Diri 34
Cukuplah! Usah menghina lagi orang lain walau pun dia seorang yang hina.
Sehina-hina manusia dia tetap manusia anak keturunan Adam yang telah dimuliakan Allah ta’ala .
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴿الإسراء: ٧٠﴾
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (70)
(Al Isra’: 70)
Usahlah berterusan merasa diri lebih pandai dan baik dari orang lain. Kerana di situlah akan terbitnya takabbur, riya’ dan ‘ujub dalam hati.
Sikap membodohkan orang lain, memperkecilkan dan menganggap hina kepada orang lain hanya akan mengundang kebinasaan diri sendiri.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿الحجرات: ١١﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
(Al Hujurat : 11)
Ayat ini, bagaikan sudah tidak ada makna kepada umum manusia kini. Khususnya kepada kalangan ummat Islam, yang secara bebas dan terbuka tidak memperdulikan larangan-larangan Allah ta’ala dalam ayat ini.
Imam Hassan Al Basri pernah ditanya tentang pengertian tawadhu’ ( merendah diri ). Beliau menjawab,
“Seorang itu keluar dari rumahnya, maka ia tidak bertemu seorang Muslim, kecuali mengira bahawa yang ditemui itu lebih baik dari dirinya.”
(Az Zuhd, hal. 279)
Apa yang disebutkan Imam Hasan Al Basri ini semakna dengan nasihat Imam Al Ghazali mengenai tawadhu’. Beliau mengatakan,
”Janganlah engkau melihat kepada seseorang kecuali engkau menilai bahawa ia lebih baik darimu. Jika melihat anak kecil, engkau mengatakan, ’Ia belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah melakukannya, maka ia lebih baik dariku’. Jika melihat orang yang lebih tua, engkau mengatakan, ‘Orang ini telah melakukan ibadah sebelum aku melakukannya, maka tidak diragukan bahawa ia lebih baik dariku.’ Dan jika ia melihat orang alim (pandai), maka ia berkata, ’Ia telah diberi Allah ilmu lebih dibanding aku dan telah sampai pada darjat yang aku belum sampai kepadanya.’ Kalau ia melihat orang bermaksiat, ia berkata, “Ia melakukannya kerana kejahilan, sedangkan aku melakukannya dan tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Maka, hujjah Allah kepadaku akan lebih kuat.’”
(Maraqi Al Ubudiyah, hal. 79)
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ رَجُلًا يَقُولُ قَدْ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ يَقُولُ اللَّهُ إِنَّهُ هُوَ هَالِكٌ
“Jika kalian mendengar seorang laki-laki yang berkata: 'orang-orang telah celaka, ' maka dialah yang paling celaka dari mereka, dan Allah berfirman: 'Sesungguhnya dialah yang celaka.'
(HR Muslim, 7360)
Imam Al Khattabi menjelaskan bahawa kemungkinan orang yang mengatakan demikian menimbulkan sifat ujub kepada dirinya dan menilai bahawa pada manusia sudah tidak terdapat sifat kebaikan. Dan merasa bahwa dirinya lebih baik dari mereka. Maka pada hakikatnya, orang ini telah celaka.
(Kitab Al Azkar,hal. 566)
Imam Malik pun berpendapat bahawa kalau pelakunya mengatakan hal demikian kerana ujub dan meremehkan manusia terhadap diri mereka, maka itu hal yang dibenci dan yang terlarang.
Namun jika mengatakannya kerana merasa perihatin, maka hal itu tidak mengapa.
(Al Azkar, hal. 566)
Dari Iyadh bin Himar RA berkata, Rasululllah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَعالى أوْحَى إليَّ أنْ تَوَاضَعُوا حتَّى لا يَبْغيَ أحَدٌ على أحَدٍ، وَلا يَفْخَرَ أحَدٌ على أحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah
mewahyukan kepadaku agar kamu saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlalu zalim pada yang lain.”
(HR Muslim,5109)
Antara punca yang menyebabkan seseorang kehilangan sifat tawadhu’nya adalah merasa hebat dengan ilmu yang dimiliki. Manusia yang merasakan dirinya memiliki ilmu, sering dengan mudah membodoh-bodohkan manusia. Walaupun kadangkala ilmunya tidak setara mana pun.
Al Hafiz Ibnu Rajab Al Hanbali berkata,
”Adapun tanda-tanda ilmu tidak bermanfaat adalah, seseorang tidak memiliki kesibukan kecuali takabbur dengan ilmunya di hadapan manusia. Dan menunjukkan kelebihan ilmunya kepada mereka. Serta merendahkan meraka, untuk meninggikan kedudukannya terhadap mereka. Ini merupakah hal yang terburuk dan paling menjijikkan dari yang diperolehi. Sehingga ia menisbahkan para ulama sebelumnya sebagai dengan kebodohan, kelalaian dan kealpaan.”
Kemudian beliau mengatakan,
”Adapun tanda-tanda ilmu bermanfaat adalah suu zhan ( bersangka buruk ) terhadap diri sendiri dan husnu zhan ( bersangka baik ) terhadap para ulama sebelumnya. Mengakui dalam hati dan jiwa terhadap kelebihan para ulama sebelum mereka dibanding dirinya dan ketidakmampuannya menyamai kedudukan mereka untuk sampai atau mendekati darjat mereka.”
(Shafhat min Shabri Al Ulama, hal. 378)
Justeru, belajarlah dari resam padi, semakin tunduk bila semakin berisi.
ABi
No comments:
Post a Comment